Contoh Proposal Penelitian Pemamfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP)


Download file doc. Klik disini


I.            PENDAHULUAN

  1.1            Latar Belakang

Penempelan dan pertumbuhan organisme hidup pada permukaan yang terpapar di lingkungan perairan didefinisikan sebagai biofouling. Menurut Egan (2001) bahwa proses pembentukan komunitas biofouling melalui suatu proses dimana kolonisasi pada suatu permukaan yang baru terjadi sebagai hasil suksesi dari beberapa tahap.  Mula-mula terbentuk film secara biokimia pada permukaan yang bersih, peristiwa ini kemudian diikuti penempelan mikroba atau mikro-fouling (kolonisasi bakteri dan diatom) dan tahap akhir adalah makro-fouling (kolonisasi makroalga dan invertebrata).
Terumbu karang Indonesia merupakan salah satu sumber daya hayati laut dangkal yang memiliki daya pesona karena kekayaan dan keanekaragaman yang paling lengkap di dunia Namun meningkatnya eksplorasi yang berlebihan dalam rangka perburuan senyawa aktif metabolit sekunder dari biota penyusun ekosistem terumbu karang khususnya avertebrata laut (karang lunak, karang moluska, arthropoda, tunicata sponge) mengakibatkan terganggunya dan menurunnya lingkungan yang sangat merugikan bagi keseimbangan ekosistem terumbu karang Apabila perburuan tersebut tetap dibiarkan tanpa mencari solusi altematif lain, maka dalam satu dekade ekosistem terumbu karang Indonesia akan mengalami kepunahen.
Beberapa penemuan tentang senyawa bioaktif baru untuk antibiotik, antikanker, farmasi, kosmetik, enzim dan lainnya banyak diperoleh dari bahan kimia produk alami biota penyusun ekosistem terumbu karang. Dilaporkan bahwa terdapat asosiasi mikroorganisme dengan organisme aut yang diduga juga mensistesa metabolit sekunder seperti organisme inangnya (Burgessa, et al, 2003).
Aplikasi cat pelindung antifoulant komersial yang komponen utamanya adalah logam berat telah berkembang menjadi masalah baru selain proses biofouling itu sendiri. Pemanfaatan antifoulant komersial tersebut makin meluas seiring dengan perkembangan industri maritim, yang secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan kandungan bahan pencemar logam berat di lingkungan laut. Pencarian altematif bagi apikasi senyawa antifoulant yang berbasis pada logam berat sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Penanganam biofouding di lingkungan laut 3erta pemanfaatan 30nyawa antifoulant yang ramah lingkungan telah menjadi pekerjaan mah yang harus segera dtangani secara multidisiplin dan sorius.
Ekosistem terumou karang merupakan ekosistem yang unik, dengan keanekagaman tinggi dan mempunyai nilai ekonomi dan Eumper daya lingkungan yang tinggi. Keberadaan sejumlan besar dari kelompok metabolt sekunder tidak umum terdapat pada organisme laut, tapi terbatas pada grup taksonomi tertentu. Di antara hewan laut, arthropoda, coelenterata, dan avertebrata laut adalah kelompok penghasil utama dai metabolit sekunder. Hal ini menjaci alasan utama dari perburuan metabolit sekunder dengan berbagai aktivitas bioiogis dari ekosistem karang.
Diperkirakan kurang dari 2% mikrobia telah berhasil diisolasi dari lingkungan laut sebagai kultur murni. Dilaporkan bahwa terdapat asosiasi mikroorganisme dengan organisme laut yang diduga juga mersistesa metabolit sekunder seperti organisme inangnya (Watermann 1999). Diharapkan bahwa bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut dapat memberikan konlribusi sebagai sumber ailernatir baru metabulit sekunder dari bahan kimia laut untuk antifoulant.
Hasil dari penelitian ini akan lebih jauh mempengaruh teknik isolasi dan pilihan alternatif untuk menghasilkan bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut dari ekosistem terumbu karang sehingga akan semakin sedikit eksploitasi terhadap avertebrata tenumbu karang akan dilakukan.

  1.2            Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Untuk mendapatkan senyawa bioaktif dari bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut yang berperan dalam proses pengontrolan biofouling di laut sebagai alternatif senyawa antifoulant yang ramah lingkungan.



    II.            TINJAUAN PUSTAKA

Biofouling merupakan salah satu masalah penting yang dihadapi oleh industri kelautan karena menimbulkan banyak kerugian, sebagai akibat dari penempelan organisme penempel (fouling) pada berbagai struktur yang digunakan di laut, seperti kapal, demaga, pancang maupun struktur penyangga pengeboran lepas pantai.
Di lingkungan laut, mikroorganisme terutama bakteri yang mengkolonisasi berbagai permukaan struktur, memperburuk keadaan dengan membentuk biofilm primer, yang diketahui merupakan prasyarat bagi penempelan dan metamorphosis dari organisme penempel, seperti teritip/barnacle (Young dan Mitchel, 1972)
Permukaan film dari bakteri fouling mempunyai peranan penting dalam proses penempelan (settlemen) dan metamorfosis dari beberapa larva avertebrata. Terdapat hubungan yang komplek antara film bakteri dan penempelan larva, dimana bakteri memiliki faktor yang menstimulus penempelan larva (Maki dan Mitchell, 1988).
Berbagai cara telah ditempuh untuk memperkecil kerugian yang terjadi sebagai akibat dari proses biofouling di lingkungan laut. Saat ini upaya yang diterapkan dalam rangka melindungi struktur dari penempelan organisme fouling adalah melalui penggunaan cat pelindung (coating painn, dimana unsur utamanya adalah kornponen logam berat dan organotin. Hasil menunjukkan bahwa komponen tersebut memberikan proteksi cukup baik terhadap berbagai struktur di lingkungan laut (Zahuranec, 1988).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan laut maka penerapan logam berat sebagai cat pelindung dipandang dapat menyebabkan suatu pencemaran logam berat di lingkungan laut. Hal ini terjadi karena logam berat sebagai komponen utama senyawa antifoulant akan tertarut ke dalam perairan laut seiring dengan waktu penggunaan dari cat pelindung tersebut.
Lautan merupakan sumber dari kelompok besar kimia bahan hayati laut dengan struktur yang unik, yang terutama terakumulasi pada hewan- hewan avertebrata yang banyak terdapat pada ekosistem terumbu karang, seperti, sponge, tunikata, bryozoa, moluska dan karang lunak. Beberapa metabolit sekunder yang dimiliki avertebrata laut tersebut menunjukkan adanya aktifitas farmakologi dan merupakan kandidat-kandidat baru untuk bahan obat-obatan. Sehingga tidak dapat dihindari lagi bahwa ekosistem terumbu karang merupakan sumber utama di dalam perburuan senyawa bioaktif.
avertebrata laut di ketahui menghasilkan metabolit sekunder dimana jenis, konsentrasi serta fungsinya amat beragam antar spesies. Menurut Sammarco dan Coll (1990), motabolit sekunder pada organismo laut berperan penting dalam ekologi karang lunak tersebut, terutama untuk perlindungan terhadap predator, kompetisi ruang hadup, reproduksi dan antifouling.
Salah satu aspek yang menarik tentang avertebrata laut adalah bahwa permukaan tissue biasanya tidak ditempeli oleh organisme penempel. Avertebrata laut mensintesis senyawa metabolit sekunder yang diduga dapat digunakan untuk mencegah penempelan oleh organisme fouling (Hadfield dan Ciereszko, 1978, Scheur, 1985).
Dengan mengidentifikasi kandungan senyawa bioaktif yang berperan dalam proses pengontrolan biofouling, metabolit sekunder pada avertebrata laut dapat menjadi suatu seryawa baru, non-lethal sebaga alternatif bagi senyawa antifoulant yang sementara ini mengandung senyawa logam berat yang toksik. Pada studi pendahuluan, Radjasa dkk. (1999) melaporkan bahwa ekstrak kasar dari karang lunak Sinularia sp mampu menghambat pertumbuhan bakteri primer pembentuk biofilm.
Namun setelah dievakuasi dan diteliti secara mendalam, kendala besar harus dihadapi didalam pengembangan kimia bahn hayati laut adalah suplai bahan dasarnya. Konsentrasi bahan aktif yang diperoleh dari avertebrata laut sangat sedikit, bahkan untuk mendapatkan 1 gram bahan aktif diperlukan bahan dasar sebesar 10 ton berat basah (Procksch, 2002), anti-kanker 1griton E turbinate (Mendola, 2000), dan anti-inflamatory 1 grfton P elizabothae (Mayer et af, 1998). Lagi pula, seringkali Eangat sulit bahkan tidak mungkin untuk memenuhi jumlah permintaan bahan dasar avertebrata sebesar itu karena jumlah organisme tersebut yang eksistensinya terbatas, kendala geografi, musim, ataupun keragaman musim dan seksual didalam menghasilkan metabolit sekunder di alam. Sehingga dengan mempertimbangkan akan pentingnya terumbu karang untuk komunitas masyarakat pantai di Indonesia, maka perlu dicari solusi alternative didalam memecahkan masalah suplai senyawa aktif yang dihasilkan hewan avertebrata laut tersebut.
Salah satu isue teraknin yang penting sehubungan dengan ekosistem terumbu karang Indonesia adalah perburuan senyawa bioaktif. Namun secara global, sejak tahun 1995 telah terlihat tanda tanda menurunnya minat di dalam perburuan metaboit baru dari sumber-sumber tradisional, seperti makroalga, mohuska, tunikata dan oktocoral, sedangkan sejumlah laporan tahunan terhadap sponge laut reiative stabil. Scbaliknya pencarian senyawa metabolit baru dari mikroorganisme tumbuh sangat cepat. Hal ini disebabkan setidaknya oleh pendugaan bahwa beberapa metabolit sekunder yang diperoleh dari alga dan avertebrata kemungkinan juga diproduksi oleh mikroorganisme yang berasosiasi dengannya (Fenical, 1993, Pietra, 1997, Beman et el, 1997, Faulkner et al, 2000, Jensen and Fenica, 2000).
Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sel mikroba menempel kuat pada hampir seluruh permukaan benda yang terendam di lingkungan laut. Sel-sel tersebut tumbuh, bereproduksi, dan menghasilkan polimer ekstraseluler yang memberikan kontribusi pada struktur yang disebut sebagai biofilm. Paul et al. (1986), Coffroth 1980) dan Kim (1994) menyatakan bahwa permukaan karang dilapisi oleh lendir yang banyak mengandung mikroorganisme dan bersifat tidak merusak inangnya. Bakteri yang diisolasi dari permukaan organisme hidup di lingkungan laut merupakan sumber yang menjanjikan untuk perburuan senyawa bioaktif alami ant fouling. Burgessa et al (2003) melaporkan bahwa ekstrak kasar dari bakteri yang berasosiasi dengan rumput laut Psaudomonas sp. Strain NUDMB50- 11 mampu menurunkan jumlah organisme penempel bamakel paca panel kayu Metabolit sekunder yang disintesis oleh bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut merupakan produk hayati laut (marine natural products) yang dapat merupakan alternatif bagi sumber senyawa bioaktif baru.




    III.            METODE PENELITIAN

  3.1            Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Suka Karya, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue. Penelitian ini berlangsung sejak bulan Agustus-Oktober 2017

  3.2            Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah Scuba diving, kontainer plastik, kamera bawah laut Canon S50, pralon, tali plastik, pipet steril, cawan petri, labu erlenmeyer, Vacuum filter, Rotary evaporator dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu etanol dan media agar Zabell 2216E.

  3.3            Sampling Avertebrata Laut
            Sampel avertebrata laut (soft coral diambil dari perairan pantai pada kedalaman 3 dan 10 meter dengan menggunakan peralatan Scuba Diving. Segera setelah pengambilan, sampel dimasukkan ke dalam kontainer plastik yang sebelumnya telah diisi dengan air laut steril dan selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk preparasi isolasi bakteri sampel.

  3.4            Dokumentasi dan Identifikasi
Dokumentasi terhadap sampel avertebrata laut (soft coral) dilakukan dengan pengambilan gambar secara in situ dengan underwater kamera Canon S50 dan pengambilan gambar pada permukaan segera setelah sampel diambil dari laut. Identifikasi akan dilakukan terhadap spesies karang lunak yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan metoda identifikasi Verseveldt (1980).

  3.5            Preparasi Bioflim Primer
Biofilm primer disiapkan dalam rangka memperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm primer. Beberapa gelas slide dan panel kayu disiapkan, kemudian dikaitkan pada beberapa base penyangga pralon dengan menggunakan tali plastik, selanjutnya dipasang di dermaga Teluk Awur pada kedalaman 50 cm di bawah permukaan laut pada surut paling rendah selama 1 minggu.

  3.6            Isolasi Bakteri yang Berasosiasi dengan Avertebrata Laut
Isolasi bakteri dilakukan dengan metoda Paur plate (lempeng tuang) menurut Brock dan Madigan (1991). Sampel avertebrata laut (soft coral) tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sebagian berisi air laut steril. Kemudian dilakukan scrapping terhadap permukaan jraingan dan dengan alat pengerok steril secara aseptik.
Selanjutnya dilakukan seri pengenceran terhadap sampel tersebut. Dari masing-masing cawan petri tersebut diambil 10 ml sampel dengan pipet steril, dan dimasukkan ke dalam labu erlemeyer yang berisi 90 ml air laut steril dan diperoleh pengenceran sampel sebesar 10-1. Dari pengenceran10-1 tersebut diambi 1 ml sampel dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril dan diperoleh pengenceran 10-2. Demikian selanjutnya sehingga diperoleh pengenceran sampel 10-3; 10-4; dan 10-5
Dari masing-masing seri pengenceran tersebut selanjutnya diambil 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang dituangi dengan media agar Zobell 2216E. Cawan petri tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu 300C selama 2 hari. Koloni bakteri yang tumbuh pada permukaan agar tersebut, kemudian dipisahkan dengan teknik goresan (streak method) sehingga diperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm primer yang berupa kultur murni.

  3.7            Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm Primer
 Slide dan panel kayu yang telah dipasang di perairan laut, selanjutnya diambil pada waktu perendaman 1 minggu, Slide dan panel kayu tersebut setelah diambil, selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium untuk proses isolasi. Isolasi bakteri dilakukan dengan metoda Pour plate (lempeng tuang) menurut Brock dan Madigan (1991) Slide tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan peti steril yang sebagian berisi air laut steril. Kemudian dilakukan pengerokan (scrapping) terhadap permukaan siide dan dengan alat pengerok steril secara aseptik.
Selanjutnya dilakukan seri pengenceran terhadap sampel tersebut dan proses isolasi dilakukan dengan prosedur yang sama dengan isolasi bakteri yang berasosiasi dengan avertebrata laut diatas.

  3.8            Skrining Bakteri Penghasil Senyawa Antifoulant
Skrining dilakukan dengan metode overlay. Dimana masing-masing isolat bakteri yang berasosiasi dengan karang lunak dinokulasi secara dot method pada permukaan media ZoBell 2216E yang selanjutnya akan diinkubasikan selama 2 x 24 Jam pada suhu kamar. Setelah koloni tumbuh baik, maka strain uji bakteri primer pembentuk biofilm digunakan sebagai strain uji dengan cara menuang soft agar (1/3 strength) yang berisi isolat biofilm pada media tersebut (Brock and Madigan, 1991). Hasil positif diperoleh dengan menyeleksi koloni bakteri yang menghasilkan zona hambatan terhadap strain uji. Seleksi isolate bakteri yang memiliki potensi sebagai kandidat untuk studi selanjutnya dilakukan berdasarkan isolate yang memiliki kemamapuan terbanyak menghambat pertumbuhan bakteri primer pembentuk biofilm.

  3.9            Ekstraksi Bakteri
Ekstraksi dilakukan dengan metoda menurut Montano dan Glorioso (1994). Bakteri seleksi ditumbuhkan pada 3000 ml media cair ZoBell 2216E, yang selanjutnya diekstraksi dengan cara homogenisasi dengan pelarut etanol dengan menggunakan blender. Campuran organik yang diperoleh kemudian difiltrasi dengan menggunakan vacuum filter. Filtrat kemudian dipisahkan dari pelarut dengan menggunakan rotary evaporator dan kemudian disiapkan iebih lanjut untuk pemisahan dengan kolom kromatografi.

3.10            Uji Lapangan (Macrofouling)
Uji lapangan dilakukan dengan mencampur cat dan senyawa aktif dari ekstrak kasar bakteri asosiasi untuk mengetahui kemampuan senyawa aktif dalam melindungi struktur dari penempelan organisme fouling.
Disiapkan beberapa blok kayu Jati berukuran 5 x 10 cm dan dipasang skrup berlubang kecil pada kedua ujungya untuk memasukkan tali pengikat. Dibuat beberapa larutan cat kayu kapal sejumlah 100 ml, yang kemudian dicampur dengan crude extract yang telah disiapkan. Satu blok tanpa penambahan ekstrak aktif digunakan sebagai kontrol. Selanjutnya larutan cat tersebut digunakan untuk mengecat blok kayu yang tersedia. Setelah dikeringkan selama 3 hari, maka kayu tersebut dikaitkan dengan tali plastik dan dipasang pada base pralon yang telah dipasang di laut. Blok kayu tersebut ditempatkan 50 cm di bawah permukaan laut pada surut terendah selama 6 minggu. Pengamatan dilakukan tiap minggu untuk ditentukan dan dihitung jumlah organisme penempelnya.


DAFTAR PUSTAKA
Egan. S. 2001. Production and regulation of fouling inhibitory compouns by the marine bacterium. School of Microbiology and Immunology. Faculty of Life Science. The University of New South Wales. Sydney. Australia.
Bernan, V.S., M. Greenstein, and W.M. Maise. 1997. Marine microarganisms as a source of new natural products. Adv. Appl. Microbiol. 43: 57-90.
Brock, T.D. and M.T. Madigan 1991. Biology of microorganisms. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.
Burgessa J.G., K.G. Boyda, E. Armstronga Z Jianga, L. Yana, M Berggrenb, U. Mayb, T. Pisacanec, A K. Granmob and D, R. Adamsd. 2003. The Development of a Marine Natural Product-based Antifouling Paint. Biofouling, 2003 Vol 19: 197-205.
Coffroth, MA, 1990. The function and fate of mucous sheets produced by reef coelenterates. Proc. The 6 Int. Coral Reef Symp. Australia 2: 15-20.
Faulkner, D.J., M.K. Harper, MG, Haygood., C.E. Salomon, and E.W Schmidt, 2000. Symbiotic bacteria in sponges: sources of bioactive substances In Fusetani, N (Ed). Drugs from the sea, Basel: Karger. 107-119.
Fenical, W. 1993. Chemical studies of marine bacteria: developing a new source, Chem. Rev. 93: 1873-1683.
Hadfield, MG. and LS. Ciereszko 1978. Action in cembranolides derived from octocorals on larvae of the nudibranch Phestilla sibogae pp 145- 150. In P.N. Kaul and C.J. Sinderman (eds). Drugs and food from the sea: Myth or reality University of Oklahoma, Norman.
Jensen, P.R., and W. Fenical. 2000. Marine microorganisms and drug discovery: current status and future potential. In: Fusetani, N (Ed) Drugs from the sea, Basel Karger. 6-29.
Kim, K 1994. Antimicrobial activity in gorgonian corals (Coelenterata Octocorallia). Coral Reefs 13: 75-80.
Maki, J.S. and R. Mitchell 1988. Microbial surface film and their influence on larval settlement and metamorphosis in the marine environment. In Marine biodeterioration: Advanced techniques applicable to the Indian Ocean, A.A. Balkema, Rotterdam.
Mayer, AM.S., P.B. Jacobson, W.Fenical, R.S. Jacobs, and K.B.Glaser. 1998. Pharmacological characterization of the pseudopterosins: Novel anti-inflam-matcry natural products isolated fromthe Caribbean soft coral, Pseudopterogorgia elisabethae. LifeSci. 62026): PL 401-407.
Paul, J ME. DeFlaun, and W.H. Jeffrey, 1986, Elevated levels of microbial activity in the coral surface microlayer. Mar. Ecol. Prog. Ser, 33: 29-40.
Pietra, F. 1997. Secondary metabolites from marine microorganisms- bacteria, protozoa, algae and fungi-achievements and prospectives. J Nat. Prod. 14: 453-464
Proksch, P., R.A Edrada, and R Ebel. 2002. Drugs from the seas-current status and microbiological implications. Appl Microbiol. Biotechnol 59: 125-134.
Radjasa, o K. Sabdono, A, and Suharsono. 1999. The growth inhibition of marine biofilm forming bacteria by the crude extract of soft coral Sinularia sp. J. Coastal. Development, 2: 329-334.
Sammarco, P.W. and J. C. Coll 1990. Lack of predictability in terpenoid function: Multiple roles and integration with related in soft corals. J. Chem. Ecol. (16) 1: 273-289.
Scheur, P.J. 1985. The organic chemistry of marine products. Symposia in Print No. 18. Tetrahedron. 979-1018.
Veseveldt, J. 1980. A revision of the genus Sinulaaria May (Octocorallia, Alcyonacea). Zocl Verhand 179: 1-27.
Watermann, B. 1999. Alternative antifoulant techniques present and future. LimnoMar: 1-6.
Young, LY. and R. Mitchell. 1972. The role of chemotactic responses in primary microbial formation. In: Proc. 3rd Int. Congress on marine corrosion and fouling. (Archer R.F., Brown, B.F. De palma, J.R. and Iverson, W.P. eds) North Westem University Press, Evaston ii: 617- 620.
Zahuranec, B.J. 988. Marine biodeteri Advanced techniques oration applicable to Indian Ocean. AA. Balkema, Rotterdam.


Download file doc. Klik disini

Comments